Pet



“Dek, pengen kali Abang makan lappet kayak punya Opung Buan dulu,” kata suamiku setengah kesakitan. Dia sedang menjalani kemoterapi untuk kesekian kalinya.

Aku tertegun. Permintaannya sederhana sekali tetapi tidak bagiku. Jarak kami dipisahkan ratusan ribu kilometer dari kampung. Terakhir berhubungan dengan Opung Buan pun sudah berpuluhtahun yang lalu. Sebenarnya ada alasan lain yang membuat aku enggan menanggapi permintaannya.

Mari kuceritakan. Itupun kalau kau mau tahu. Begini, aku sangat jarang ke dapur. Hubunganku dengannya bagai minyak dan air. Aku ke dapur hanya mengambil dan mencuci piring gelas bekas makanku. Aku musuh bebuyutan dengan proses memasak tetapi berteman akrab dengan makanan. Toh ada aplikasi. Banyak yang menjual makanan di mana-mana. Suamilah yang lebih sering di dapur. Itu pun dapur restoran milik kami.

“Dek, tolong ya Dek. Manatau mati Abang besok,” pintanya sambil memelas.

Kupegang erat tangannya. Sejak didiagnosa sakit baru kali ini Abang meminta makanan khusus padaku. Biasanya dia tidak berselera makan.

"Gak enak semua kumakan, Dek. Pahit rasanya," katanya bila kutawarkan makanan.

Ingin sekali memenuhi permintaannya tapi aku tak mampu. Aku pun segera mengecek aplikasi pemesan makanan. Nihil. Di kota ini satupun tidak ada yang menjual lappet. Aduh, pikirku. Bagaimana ini. Beberapa saudara sudah kutelepon. Aku bukan mendapat lappet malah mendapat resep. Aku gundah sekali. Baru kali ini aku tidak berdaya karena makanan.

“Dek,” kata suamiku lagi.

“Apa?” nadaku meninggi sedikit. Aku tidak suka dipaksa-paksa begini.

“ Minum,” katanya sambil menunjuk ke arah meja di samping ranjang.

“Oh, iya Bang,” kataku cepat mengisi air ke gelas. Aku salah sangka aku mengira dia membahas lappet lagi. Rasanya seperti memakan buah simalakama.

***

Kusobek daun pisang dan kuolesi dengan minyak goreng sedikit. Kupanaskan di api sebentar. Setelahnya kuambil lagi air, gula, kelapa parut dan kuaduk-aduk di dalam wajan. Tumpah sedikit. Aduh rasanya sangat kaku. Kuaduk sampai airnya habis sambil sesekali melihat tutorial yang diputar di depanku.

Sebentar-sebentar kucek pemberitahuan di ponselku. Siapatahu ada panggilan dari Abang. Walaupun sudah kutitipkan kepada perawat, tetap saja aku kurang tenang meninggalkan Abang di ruangan sendiri.

Kuberhentikan sebentar video tutorial agar bisa menyiapkan bahan adonan utama. Ada tepung ketan, garam, vanili dan santan.

Kucampur semua bahan menjadi satu dan kutambahkan air sedikit. Kuadon sampai kalis. Peluhku bercucuran. Kantin rumah sakit tempat aku menumpang memasak sangatlah kecil dan pengap. Diperbolehkan saja sudah sangat lumayan, batinku lagi.

Ku ambil daun pisang yang tergeletak di samping kulkas dan kuoles perlahan minyak goreng di permukaan daun. Warna daunnya sudah layu. Ya sudahlah, masih syukur ada, pikirku. Semua bahan lengkap dan kudapat dari aplikasi belanja. Dalam waktu setengah jam semua barang yang kupesan sudah diantar. Aku sangat bersyukur.

Kucuil sedikit adonan tadi, kumasukkan gula merah ke tengahnya dan kumasukkan ke daun yang sudah kulipat segitiga. Selanjutnya tinggal dikukus. Aku sangat bersemangat. Pengalaman memasak yang sangat menyenangkan. Aku jadi semangat memikirkan resep lain. Ini awal rekonsiliasiku dengan dapur, pikirku penuh keyakinan. Sambil memasukkan adonan ke daun aku bersenandung. Lagu kesukaanku dengan Abang.

Tiba-tiba bayangan hitam melompat dari rak di atas kepalaku. Keempat kaki kecilnya mendarat mulus tepat di atas adonanku. Aku ulangi ya. TEPAT DI ATAS ADONANKU. Aku menjerit ketakutan. Menjijikkan sekali. Kukira sudah selesai. Lompat satu lagi. Kali ini dari atas kulkas. Tepat di atas adonan yang sudah kulipat. Aku menjerit lagi. Kemarahanku memuncak.

“ Tikus-tikus bangsat. Sialan. Jahanam,” makiku sangat keras.

Aku menangis putus asa. Kukira akan selesai dengan cepat dan aku bisa segera kembali ke kamar rawat Abang. Ibu kantin datang tergopoh-gopoh karena mendengar teriakanku.

Aku terduduk lemas dan menangis tersedu-sedu. Ibu kantin melihat sekeliling. Dia paham apa yang barusan terjadi.

“Bu, maaf ya. Memang beberapa tikus berkeliaran di sini. Maklumlah karena di sini banyak bahan makanan. Bagaimana kalau saya bantu mengulang dari awal? Ajari saya membuatnya. Masih ada bahan tersisakan?,” katanya dengan tulus seolah memahami keadaanku.

Aku mengangguk pelan. Kupeluk Ibu kantin dengan erat. Kuucapkan terimakasih. Kekesalanku jauh berkurang.

***

“Dek, rasanya persis seperti buatan Opung Buan. Aromanya pun sangat menggugah seleraku. Lappet pulut pas kali diminum pakai teh manis hangat begini. Waktu Abang masih kecil, lappet inilah yang tiap pagi kumakan. Kalau Opung Buan lewat di depan rumah selalu dia teriak ‘ Pet … lappet’. Abang pun berlarian ke luar rumah sambil bawa uang seribu. Aku teriak 'Pet... pet' sambil mengejarnya ,” kata Abang panjang lebar sambil menirukan suara Opung Buan.

“Iya, Bang. Nanti kalau ada lagi pesanan Abang bilang aja samaku ya. Nanti Aku masak pun sama Kak Berta. Dia tadi yang bantu aku masak,Bang,” terangku.

Kulihat Abang sangat menikmati lappet itu. Aku diam-diam menghapus airmataku. Sampai berapa lama lagi kulihat Abang ya, pikirku. Terus-terusan kulihat wajah bahagianya menikmati lappet pulut di tangannya. Bertahan ya, Bang.

Keterangan:
Lappet, lampet = makanan ringan khas Sumatera Utara yang terbuat dari tepung beras atau tepung ketan(pulut), kelapa parut dan isi gula merah. Berbentuk limas dan dibungkus daun pisang.

Medan, 5 Juni 2020

Penulis: Maria Julie Simbolon



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Film Bumi Manusia

Menantu atau Mertua yang Menyebalkan?

Ulasan Series It's Okay, That's Love