Adakah Cara Mudah Untuk Berani Menghadapi, Bangkit dan Berdamai dengan Masa Lalu?
Judul di atas cukup membayang-bayangiku beberapa tahun belakangan. Seberapa susah untuk bangkit dari perasaan berduka? Bagiku pribadi, cukup memakan waktu, energi dan usaha yang kuat.
Menurut buku On The Death and Dying (1969) karya Dr. Elisabeth Kubler-Ross ada lima tahap untuk pulih betul dari rasa berduka (grief). Tahap ini dikenal dengan nama model Kubler-Ross, DABDA. Apa itu? DABDA adalah singkatan dari denial, anger, bargaining, deppression dan acceptance.
Menurut Elisabeth, kesedihan adalah hal yang wajar dihadapi manusia. Bagaimana bila kita menjadi terlarut dengannya? Perasaan sedih, suram, pedih, muram, melankolis, mengasihani diri, kesepian, ditolak, putus asa, dan depresi berat adalah wajar dan sebaiknya diterima. Akan ada tahap kita mengalami penolakan atas kondisi yang sedang terjadi, tahap tidak terima dan berandai-andai seandainya keadaan tidak seperti sekarang, tahap merasa hidup tidak adil padamu, dan tahap menyadari bahwa yang sudah berpulang tak akan hidup kembali.
Sumber Gambar: Gumpnhell
Kejadian tenggelamnya Nanggala membuat aku patah hati sepanjang hari. Sejujurnya aku berharap ada keajaiban terjadi. Aku terjaga sampai pukul tiga dini hari untuk menunggunya. Setiap tangan membuka berita, aku selalu berdoa agar ada kabar baik terjadi. Sayangnya Nanggala, yang namanya diambil dari pusaka Prabu Baladewa, dinyatakan subsunk dan on eternal patrol sore ini.
Duh! Tak terbayang rasanya bila memikirkan hancurnya hati para keluarga korban. Keluarga yang setia menunggu suami bertugas dari medan perjuangannya ternyata harus gigit jari karena harapannya semakin menipis.
Hal ini membuat aku jadi teringat Mbah Sri. Dia adalah salah tokoh utama di film Ziarah. Mbah Sri adalah istri seorang veteran. Sepanjang usianya dia menunggu suaminya pulang dari perang. Sayangnya yang ditunggu tak pernah kembali sampai usia Mbah Sri uzur. Begitu pun dia selalu percaya kalau suaminya belum mati dan senantiasa menunggu kedatangannya. Keinginan Mbah Sri hanya dua. Bila suaminya masih hidup, dia ingin bertemu dan memeluknya. Namun bila ternyata suaminya sudah wafat mendahuluinya, Mbah Sri ingin dimakamkan di samping kekasih hatinya.
Mbah Sri, seorang nenek berusia 95 tahun berjalan tertatih-tatih menyusuri jalan ketidaktahuan. Sesekali dia berhenti untuk istirahat. Puluhan tahun lamanya dia menunggu tetapi yang dikasihi tak kunjung pulang dari medan perang. Berbekal sedikit informasi dari tentara veteran yang mengenal suaminya, Pawiro Sahid, Mbah Sri berniat melakukan perjalanan panjang mencari belahan jiwa yang terpisah dengannya saat Agresi Militer Belanda II di Yogyakarta.
Keinginan Mbah Sri sederhana. Dia ingin menemukan suaminya dalam keadaan hidup maupun mati. Kalaupun Pawiro sudah meninggal, Mbah Sri ingin menemui makam dan dikebumikan di sampingnya bila kelak nanti berpulang.
Sumber Gambar: Google Images
Film berdurasi satu jam 27 menit ini berhasil memenangkan banyak nominasi penghargaan di antaranya Piala Citra 2016 untuk penulis skenario asli terbaik, Indonesian Movie Actors Award untuk pemeran wanita terbaik, skenario terbaik pilihan Majalah Tempo 2016, Geber dan Netpac Award di Jogja Netpac Asian Film Festival and Awards, ASEAN International Film Festival and Awards (AIFFA) dan sederet penghargaan di ajang bergengsi lainnya.
Mbah Sri yang diperankan Ponco Sutiyem adalah sentral film ini. Raut wajah, keriput, cara berjalannya yang pelan, tangannya yang mengepit erat tas berwarna oranye serta sandal putusnya tak bisa dilupakan. Di usia senjanya, lakon Ponco Sutiyem yang berprofesi sebagai petani di Gunung Kidul, Yogyakarta ini mampu membius keyakinan penonton bahwa dia hidup di zaman perang dan memang mengalami sendiri kisah ini. Aktingnya sangat mengesankan.
Pemenang Salamindanaw Film Festival Filipina kategori Film Terbaik ini mengajarkan penonton untuk senantiasa berserah. Setelah terpuruk dengan kekalahan dalam pencarian tujuan, justru di saat itu Mbah Sri menemukan cinta.
Sumber Gambar: Google Images
Cinta yang sesungguhnya dengan cara yang tidak terduga. Plot twist di akhir cerita membuat aku tak bisa berpaling dari film ini lagi. Aku dibuat menangis tersedu-sedu sekaligus geram. Film bersinematografi ciamik ini tidak hanya berkisah tentang pencarian cinta Mbah Sri tetapi juga kilas balik menyusuri puing-puing sejarah bangsa yang hampir hilang di telan masa.
B.W. Purba Negara mengangkat latar masyarakat tradisional Jawa. Awalnya ia terinspirasi membuat film ini setelah melihat bencana tsunami di Aceh tahun 2004. Purba Negara menyaksikan bagaimana korban menghadapi, bangkit kembali dan berdamai dengan kepahitan masa lalu setelah melalui badai yang meluluhlantakkan tempat tinggal mereka di tanah Serambi Mekah. Purba terinspirasi untuk mengadopsi nilai yang dia dapat dari peristiwa itu dan menjadikannya film sarat makna.
Bagaimana kisah akhir dari pencarian Mbah Sri? Mengapa film ini erat kaitannya dengan proses memaafkan dan berdamai dengan masa lalu? Silakan saksikan sendiri. Salam.
Judul: Ziarah
Bahasa: Jawa
Genre: Drama
Produser, Sutradara dan Penulis Naskah: B.W.Purba Negara
Durasi: 87 menit
Tayang Perdana: 18 Mei 2017
Pemain: Ponco Sutiyem sebagai Mbah Sri, Rukman Rosadi sebagai Prapto/ Cucu Mbah Sri, Ledjar Subroto sebagai Mbah Tresno, Vera Prifatamasari sebagai Calon Istri Prapto
Produksi: Purbanegara Films, Lotus Cinema dan Hide Project Films.
Rating: 8.5/10
Medan, 24 April 2021
Penulis: Maria Julie
Simbolon
#Ulasan
#UlasanFilm
#30HariBlogBer12
#BloggerMedan
Komentar
Posting Komentar