Jelantah

 


“Bang, minggu depan waktunya anak-anak kita bayar uang sekolah. Sudah ada uang kita, kan?” tanyaku hati-hati. Aku mendekati Bang Ara yang sedang asyik bermain ponsel.


“Uang kita? Dari mana jalannya uangku jadi uang kita? Kerjamu pun tak ada. Cuma di rumahnya kau tidur-tidur. Aku yang capek kerja. Siapkan dulu makanan lapar aku!” perintahnya bagai titah raja.

“Lagian sok-sokan kau membuat anak kita ke sekolah swasta. Jadi susah aku karena perilaku sok kayamu!” Repetannya belum juga berhenti.

Aku diam saja. Kuteruskan menggoreng telur dadar untuk makan malam kami. Bang Ara melongok isi wajan.

“Telor lagi lauk kita?” tanyanya bernada tinggi. “Setiap bulan kukasih kau 500 ribu. Kemana semua itu? Kau pakai foya-foya, ya?”

Aku mengunci mulut masih berusaha menahan amarah. Kuletakkan telur dadar ke atas piring.

“Lihatlah, Nei. Kek mana awak mau selera samamu. Tiap hari pakai daster. Bermake up pun kau tak pernah. Poleslah sikit!” Aku masih diam. Kusendokkan nasi untuknya.

“Ini, Bang. Silahkan makan." Dia duduk di sebelahku.

“Cuma ini? Ambillah kecapnya. Gerak cepat jangan lambat. Biar berguna kau sikit,” bentaknya.

“Iya, Bang.” Aku menggeser kursi untuk mengambil kecap di sebelah kompor. Kulihat ada minyak jelantah di dalam panci.

“Bang,” panggilku. Dia yang sedang bermain permainan di ponselnya tak segera menoleh.

“Apa? Mana kecapnya?” Dia masih serius dengan ponselnya. Hanya tangannya yang terulur meminta botol kecap.

“Ini,” kataku sambil menuangkan minyak jelantah itu ke kepalanya.

“Perempuan sialan, apa salahku?” tanyanya penuh amarah. Dia berusaha meraihku tapi tak berhasil.

"Mana kau, istri sialan?" Dia mulai melap jelantah yang membasahi matanya.

Aku tertawa keras melihatnya. Kuhabiskan sisa minyak jelantah yang berwarna hitam kehijauan dan melemparkan pancinya sekalian ke arahnya. Aku tertawa semakin keras melihatnya kesusahan melihat. Puas rasanya.

Medan, 15 April 2021.


Penulis: Maria Julie Simbolon

#30HariBlogBer3

#BloggerMedan

#FIKSI

@Blogger_Medan

 

Komentar

  1. Kok takut bayangin endingnya ya kak :(

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihhihihi. Aku jadi ikutan mikir. Serem juga punya suami begitu ya, Kak. Atuttt.

      Hapus
  2. Baiklah, semoga dia tak lupa untuk berhenti tertawa.

    BalasHapus
  3. Bagus tulisannya, pembaca bisa kebawa emosinya

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahhahahah. Macam film di Indosiar ya, Kak. Ikut emosi awak dibikinnya.

      Hapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Film Bumi Manusia

Menantu atau Mertua yang Menyebalkan?

Ulasan Series It's Okay, That's Love