𝐌𝐢𝐧𝐝𝐞𝐫? 𝐒𝐚𝐦𝐩𝐚𝐢 𝐊𝐚𝐩𝐚𝐧?

 

Sumber Gambar: Unsplash

Salah satu cara melihat orang minder adalah saat ditanyakan apa kelebihan dan kekurangannya. Bila dirimu lebih cepat menuliskan kekurangan daripada kelebihan, itu tandanya apaaaaaaaa? Jawab sendiri, ya. Hahahhahaah. Caleb Lareau, saat berbicara di acara Ted Talks, mengungkapkan kalau dia sering minder karena penampilan fisiknya. Setiap kali melihat tampilan dirinya yang terpantul di cermin timbul perasaan malu karena postur dan bentuk wajah.

Satu waktu Caleb mendapatkan pasangan yang sangat cantik. Hal ini membuat kepercayaan dirinya mulai tumbuh. “Ternyata jelek-jelek begini, aku bisa kok punya pacar cantik.” Kira-kira begitulah pikirannya. Namun, kesenangan dan perasaan bahagia itu tak bertahan lama karena Caleb dan pacar cantiknya putus. Dia pun kembali merasa minder.

Sering kali pendapat, dan validasi dari orang di sekitar membuat seseorang meragukan konsep dirinya. Di saat duduk di bangku menengah pertama, aku terbiasa dikata-katai dan diberi berbagai macam julukan. Mulai dari gendut, cacat, si pengkor, hitam, jerawatan, bopengan, babi, gajah, gorila, sudah jelek tapi banyak gaya dan berbagai julukan tak berprikemanusiaan lainnya. Bukan hanya julukan, aku juga sering mendapati teman-temanku menempelkan sticky notes bertuliskan hal jelek lainnya di punggungku. Uhhhh, serem, ya.

Awalnya aku merasa baik-baik saja, tetapi lama kelamaan label ini mulai membebani pikiranku. Bertahun-tahun lamanya aku bermusuhan dengan cermin. Setiap melihat pantulan diriku, aku akan mengamuk dan menangis. Di dalam pikiranku, aku adalah gadis jelek, cacat, tidak berguna dan tidak berharga.

Sumber Gambar: Unsplash

Separah itukah? Ya. Perasaan minder selalu menghantui proses hidupku sejak saat itu. Aku bahkan ketakutan bila difoto. Karena di kepalaku sudah ada kata-kata, “Gak pantes tau ga sih. Jelek-jelek begini kok sok banget sih mau bergaya, Marjul.” Perkataan ini terus menerus berulang dan berputar-putar di otakku.

Apakah dampaknya sampai di situ? Tentu tidak. Setiap kali ada sesi tanya jawab di dalam seminar, aku selalu gagal bila ingin bertanya dan berpartisipasi. Tentu bukan karena penyelenggara acara melarangku. Tetapi karena aku malu dengan keadaanku. “Gimana kalau waktu aku bertanya, mereka bilang aku jelek? Bagaimana kalau aku jalan ke panggung, mereka melihat kakiku yang cacat.” Ini benar-benar menjadi momok yang menghantui dan menghambat kemajuanku sejak dulu.

Saat itu, keputusan yang kuambil adalah aku tidak akan terlibat dalam kegiatan apa pun yang menampilkan diri. Aku tidak mau mengikuti les bahasa inggris, tidak mau mengikuti les berenang dan berbagai les lain yang kuidamkan. Alasannya simpel, semakin aku tidak terlihat maka semakin orang melupakanku dan aku tidak mendapatkan ejekan lainnya. Ahhahahahah. Kok miris kalau dipikir-pikir lagi, ya. Padahal menurut ahli ini salah karena manusia memiliki kecenderungan memenuhi potensinya (actualizing tendency). Sudah kodratnya manusia berubah dan tidak hanya diam pada keadaan semula.

Sumber Gambar: Unsplash

Sebenarnya aku banyak mendapat dukungan dari orang yang menyayangiku, seperti orang tua dan sahabatku. “Marjul, kau manis kok. Kau baik kok. Kau mampu kok. Kau gak dimarahi kok kalau bertanya saat seminar. Kau gak dipermalukan kok kalau mau berbicara di depan umum.”

Banyak afirmasi baik lain yang kuterima. Namun, konsep diriku yang sudah kadung anjlok, membuat semua dukungan ini tak berefek apa pun kepadaku. Aku akan membantah dengan cepat dan bermental korban seperti biasanya. “Alahh, menyenang-nyenangkan hatikunya kalian. Gak mempan lagi samaku pujian itu. Kalian sih lahirnya normal, pinter, cantik, putih dan langsing. Aku tengoklah diriku ini macam taik pun kulihat.” Selalu begitu jawabku. Hahahahahaha. Ngeselin ya jawabanku?

Lalu bagaimana membentuk kembali konsep diri untuk memaksimalkan hal-hal baik dari diriku ini? Bagaimana caranya aku memvalidasi perasaanku sendiri tanpa menghakimi dan menyalahkan diri terus menerus? Mari kita simak.

𝟏. 𝐀𝐤𝐮 𝐛𝐞𝐥𝐚𝐣𝐚𝐫 𝐮𝐧𝐭𝐮𝐤 𝐦𝐞𝐥𝐚𝐤𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐬𝐞𝐥𝐟 𝐭𝐚𝐥𝐤

Hei Marjul, sebenarnya kau suka bilang ke dirimu kalau kau jelek, buruk rupa dan bla bla bla? Enggak, kan? Fokus saja kepada kelebihanmu, ya. Kalau saat ini kelebihanmu belum ada, kita pelajari caranya sama-sama biar ada, ya?” Aku sering melakukannya sambil memeluk diriku.

Apakah pikiran buruk tadi masih datang? Masih. Tidak seperti makan cabe hey langsung hilang dalam sekali self talk. Hahahahha. Masih datang sesekali, tapi tak sesering dulu. Setiap kali pikiran itu datang, aku akan berlatih mindful dan mengamatinya.

Apa tandanya sudah membaik? Voila! Aku berani melihat cermin lagi dan mau difoto kembali.


Sumber Gambar: Unsplash

Aku juga lebih sering berterima kasih kepada bagian-bagian tubuhku, salah satunya kakiku yang bengkok dan pendek sebelah. “Hey, terima kasih, kakiku. Sehat terus kau, ya. Karena aku masih mau melangkah jauhhhh sekali samamu. Maafkan aku yang ikut mengejekmu dari dulu.”

Sampai di sini mulai tampak ‘kan patternnya? Orang lain mengejekku dan aku menyetujuinya. Ini yang membuat luka emosional dan rendah diriku tumbuh subur. Seribu orang berkata jelek tentang fisikmu, tetapi tak akan mempan kalau kau memiliki validasi internal yang positif di dalam dirimu. 

Biasanya aku melakukannya di malam hari sebelum tidur. Sambil self talk, aku juga akan memeluk diriku sendiri dan menepuk-nepuk punggungku. Awalnya kurasa aneh, “Entah ngapain pun ini.” Pikirku saat itu. Namun, percayalah kalau dilakukan berkesinambungan sembari melawan pikiran buruk tadi, kau akan merasakan efeknya.

Setelah pikiran ini mulai bisa kumaintain perlahan, aku baru mulai berani untuk bertanya, berbicara di depan umum, dan lain sebagainya. Saat berhasil bertanya dan berbicara aku akan berkata di dalam hati, “Good job, Marjul. Kita bisa. Yes!”

Pencapaian-pencapaian kecil ini perlahan membuat aku semakin berani sedikit demi sedikit. Hal baiknya, aku masih terus semangat berjuang untuk ini, tapi kalau melihat langkah yang sudah kulalui di belakang, aku ingin berterima kasih kepada diriku yang tak lelah berjuang untuk menjadikan diri lebih baik dan mau keluar dari konsep diri yang sangat beracun itu.

Sumber Gambar: Unsplash

𝟐.𝐌𝐞𝐦𝐚𝐡𝐚𝐦𝐢 𝐤𝐚𝐥𝐚𝐮 𝐩𝐞𝐫𝐛𝐞𝐝𝐚𝐚𝐧 𝐛𝐮𝐤𝐚𝐧𝐥𝐚𝐡 𝐬𝐞𝐬𝐮𝐚𝐭𝐮 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐡𝐚𝐫𝐮𝐬 𝐤𝐮𝐡𝐢𝐧𝐝𝐚r𝐢 

𝐦𝐚𝐤𝐚 𝐛𝐚𝐧𝐲𝐚𝐤𝐥𝐚𝐡 𝐦𝐞𝐧𝐝𝐞𝐧𝐠𝐚𝐫

Tips kedua ini kupelajari dari Indonesian Life School, Satu Persen. Perbedaan yang ada padaku adalah hal yang biasa karena orang lain juga menghadapi burdennya sendiri. Aku tak bisa terus menerus menghindar dari tatapan orang lain dan tenggelam di dalam keminderan. Mulailah ubah fokusmu dari berusaha menerangkan kau siapa dan membantah label tadi kepada sekitarmu dengan berusaha mendengarkan orang lain terlebih dahulu. 

Semua orang tidak sedang memperhatikan dan menghakimiku, kok. Mereka sama sepertiku yang juga memiliki pikiran dan masalahnya sendiri. Pemikiran ini membuat aku sadar bahwa aku sebaiknya fokus menjadikan diri lebih baik setiap harinya, bukannya hidup di dalam rasa malu dan minder tak berdasar.

Hal ini membuatku menjadi lebih berani membuka diri dan kembali bersosialisasi, loh. Aku perlahan memiliki kepercayaan diri yang sehat. Kita semua manusia sama-sama senang membicarakan diri sendiri (seperti yang sedang kulakukan di tulisanku sekarang. Hahhaah. Karena menurut Diana Tamir, seorang neuroscientist, hukum pertama bersosialisasi yaitu topik menarik bagi siapapun di dunia ini adalah soal dirinya) dan sama-sama senang didengar, didukung serta dipuji dengan perkataan baik. Mulailah lebih banyak mendengarkan dan menghormati sekitarmu.

Maksudnya? Perlakukanlah orang lain seperti kau ingin diperlakukan. Juga berempatilah dengan keadaan orang lain yang berbeda denganmu. Pada akhirnya, hal-hal baiklah yang menyatukan semua perbedaan yang ada.  

Sumber Gambar: Unsplash

 𝟑. 𝐌𝐞𝐧𝐞𝐦𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐡𝐚𝐥 𝐦𝐞𝐧𝐚𝐫𝐢𝐤 𝐝𝐚𝐧 𝐛𝐞𝐫𝐦𝐚𝐤𝐧𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐛𝐢𝐬𝐚 𝐤𝐮𝐥𝐚𝐤𝐮𝐤𝐚𝐧 𝐩𝐚𝐝𝐚 𝐝𝐢𝐫𝐢𝐤𝐮

Carl Rogers, seorang ahli psikologi humanistik, mengatakan bahwa manusia memiliki kapasitas dan memang terdorong dari sananya mencapai potensi maksimalnya.

Untuk mencapai potensi ini, aku memulainya dari mengonsumsi informasi dan makanan yang sehat. Setelahnya mulai menuliskan apa tujuan, harapan dan hal-hal yang ingin diraih di dalam hidup. Sehingga pikiran hanya berfokus kepada hal berfaedah yang bisa digali dari diri dan berfokus meraihnya dari langkah-langkah kecil yang sudah ditetapkan. Hal baiknya labelling dan momok tadi perlahan-lahan mengecil dan hilang tanpa kusadari. “Sudah cukuplah mengasihani diri dan minder, Marjul! Aku pun muak mendengarnya.” Kataku kepada diriku sendiri akhirnya. Hahahahhaa.

Pemikiran-pemikiran baru ini juga lah yang memperbaharui circle di sekitarku. Contoh kecilnya adalah orang-orang yang datang, berteman dan muncul di kolom komentar tulisanku adalah orang yang memiliki energi dan ketertarikan yang sama denganku. Akan lebih indah rasanya kan bila melihat komentar dan ide saling mendukung? Aku pun bertekad fokus memperbaiki diri sendiri dan berusaha berbuat baik pada sesama. (Aku masih berjuang ini. Semoga bisa, ya)

Sumber Gambar: Unsplash

𝟒. 𝐁𝐞𝐫𝐩𝐞𝐫𝐢𝐥𝐚𝐤𝐮 𝐎𝐭𝐞𝐧𝐭𝐢𝐤

Satu Persen menyebutkan menjadi diri sendiri dan tidak berperilaku fake adalah koentji. No drama-drama club lah di sini. It’s so old, gengs. Orang-orang bisa mencium kok kalau dirimu tidak otentik dan genuine. Hempaskan munafikun. Hihihihihihi. Berperilaku otentik berarti belajar jujur mengekspresikan diri dan berperilaku sehat.

Jadi dari tulisan sepanjang ini, apalah intinya Marjul? Intinya adalah jeng jeng jeng, konsep diri yang buruk akan membuat potensi maksimal diri yang bisa kau raih berjauhan.  Hal ini bisa mengakibatkan kecemasan, rasa tertekan, tidak merasa berharga dan sulit menerima kenyataan.

Menurut Satu Persen hal yang perlu dilakukan adalah mulai menilai diri dengan objektif dan tanya orang yang bisa kau percaya tentang apa yang bisa kau ubah dari dirimu, lalu stop membandingkan dirimu dengan orang lain dan merasa dirimu lebih menderita dari semua orang di muka bumi ini, dan terakhir mulailah mencintai dirimu sendiri apa adanya. Lakukan sekarang, ya! Say no more to minder. Salam.

Medan, 7 Mei 2021

𝐏𝐞𝐧𝐮𝐥𝐢𝐬: 𝐌𝐚𝐫𝐢𝐚 𝐉𝐮𝐥𝐢𝐞 𝐒𝐢𝐦𝐛𝐨𝐥𝐨𝐧

 

#Olahrasa

#30HariBlogBer25

#BloggerMedan

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Ulasan Film Bumi Manusia

Menantu atau Mertua yang Menyebalkan?

Ulasan Series It's Okay, That's Love