Keberuntungan Berpihak Kepada Orang yang Berani dan Mau Belajar
Sumber Gambar: Unsplash
Oikkkkk, apa kabar semuanya? Lama tak menulis dan becakap kita bah. Hihhii. Kali ini aku mau becakap masalah belajar. Karena isi tulisan kali ini lebih ke curcol maka bahasanya pakai bahasa sehari-hari saja lah, ya.
Jadi tanggal 30 Mei nanti tepatlah satu tahun aku memutuskan mau serius belajar menulis. Awalnya aku menulis dengan misi menulis untuk pulih. Harapannya banyak hal baik bisa dibagikan. Ternyata oh ternyata. Hobi membaca sejak ketek nonet alias dini tak membuat aku otomatis pinter menulis juga. Siapa pulak yang bilang rajin membaca jadi pinter menulis, Marjul? Aku barusan makanya jadi bersamburetan alias berantakan.
Semakin hari semakin palaku berat karena misi ini. Hahahahha. Berat kali rupanya yang menulis ini, ya. Membagikan hal baik pun perlu ada ilmunya. Perlu belajar banyak hal.
Setahun yang lalu aku bisa nulis cerpen dalam beberapa jam, kalau sekarang seminggu pun kadang gak siap satu cerpen. Entahlah karena apa ini ya kan. Pening pala berbi dibikinnya. Kalau dipikir-pikir ya karena aku ingin menulis dengan membawa pesan. Setiap kutulis satu cerpen tapi tak ada bobotnya langsung keriting tangan ini mau menghapusnya.
Apalagi setelah ikut banyak kelas kepenulisan. Di situlah mataku terbuka kalau menulis gak bisa sekedar membaca, imajinasi ditambah BC. Apa itu BC, Marjul? Banyak Cakapppp.
Tidak lantas membaca banyak buku membuat aku jadi pande menulis. Ini sama saja seperti berpikir kalau banyak baca buku kedokteran lantas jadi dokter. Mana pulak. Hahahahhaha.
Dulu aku banyak ikut kelas ecek-ecek jadi belum terlalu terbuka mataku, lama-kelamaan kelas-kelas berkualitas membuat palaku berputar-putar tak karuan. Aku dikenalkan dengan banyak istilah dan teknik baru dalam menulis.
Semakin aku ikut kelas dan belajar hal baru tentang kepenulisan makin bertumbuh suburlah rasa insecureku. Duh, kayaknya bukan jalanku lah menulis ini. Begitu terus menerus pikiranku sambil menghapus-hapus tulisanku yang kurasa tak layak tayang.
Sampai satu ketika aku membaca pesan dari sahabat baikku. Dia menuliskan satu kalimat berbahasa latin yang bertulis Fortis Fortuna Adiuvat. Artinya keberuntungan hanya berpihak kepada orang yang berani.
Lama aku merenungi arti dari kalimat ini. Satu yang kusadari, selama setahun belakangan ini aku lebih sering dipenuhi rasa takut daripada rasa berani. Aku belajar menulis tapi aku tidak belajar untuk berani menghadapi rasa takutku.
Bukankah memang di bidang manapun semua memiliki kesulitan dan risikonya sendiri? Sayang rasanya satu tahun ini dilalui dengan banyak rasa takut dan khawatir yang tidak perlu. Sering kali satu project gagal kusubmit karena aku dihantui rasa ragu yang menggunung.
“Jangan-jangan tak ada pesan ceritaku. Jangan-jangan salah teknisnya. Gimanalah cara membuat premis yang efektif? Gimanalah membuat outline? Macam mana pulak lagi plot? Kenapa semakin kubaca teori ini semakin aku pening empat puluh sembilan keliling?
Semua pikiran ini benar-benar membuat aku takut melangkah. Kalau dipikir secara sehat, akarnya hanya satu. Aku takut gagal (kembali). Padahal dengan aku dipenuhi rasa keraguan untuk mempraktikkan apa yang sedang kupelajari adalah jalan pintas meraih kegagalan yang baru. Tolil gak sih? Hahahahhaha.
Berani mencoba dan mengatasi rasa takutnya adalah hal yang harusnya kupelajari lagi dan lagi. Ada yang bilang, bahkan keberuntungan sering menghampiri orang yang kurang pintar tapi siap belajar dan berani melangkah.
Sebulanan ini, di sela waktu kosong, aku sering bermain ludo online. Dari sini aku belajar hal lain. Setiap satu bidak ditabrak tim lain, aku tidak berfokus pada bidakku yang gagal masuk gawang dan berfokus saja pada prosesku mendapat poin enam. Bidak baru keluar dan aku tinggal melangkah dengan strategi baru. Intinya tidak berfokus kepada kegagalan tapi segera menjalankan strategi lain.
Hal inilah yang sering kulupakan. Padahal di awal tahun ini aku sudah bertekad menjadi versi terbaik dari diriku. Eh tergelincir lagi. Ahhahaha. Seharusnya walaupun aku ragu mampu melakukannya, tapi dengan memberanikan diri aku bisa memiliki kesempatan lain selain gagal.
Belajar berani mencoba dan gagal itu lebih baik karena aku mendapatkan pengalaman baru yang bisa menjadi bahan bakar untuk percobaan berikutnya. Mencoba lagi, gagal lagi, mencoba lagi, gagal lagi, mencoba lagi dan mencoba lagi sampai keberuntungan berpihak kepada yang berani dan mau belajar dari kesalahan.
Jadi intinya? Apakah di tahun-tahun berikutnya aku mau belajar lebih giat untuk menulis? Tentunyaaaa. Ini masih satu tahun. Masih ada sepuluh ribu jam lagi yang harus kutaklukkan dan kupakai untuk belajar seperti kata buku Outliers* untuk menjadi ahli.
Buat siapapun yang saat ini hampir menyerah dan sering dipenuhi keraguan macam aku, semangat yaaaaa. Kau tidak sendiri, kawan. Ada aku di sini yang juga masih belajar untuk lebih baik setiap hari. Setidaknya lebih baik satu persen dari hari kemarin. Salam.
Catatan:
Kukutip dari Website Rumah Inspirasi. Menurut hukum 10.000
jam, untuk menjadi ahli, seseorang perlu melakukan kegiatan yang ditekuninya
itu selama 10 ribu jam. Teori 10 ribu jam ini dimuat dalam buku “Outliers”
karya Malcolm Gladwell.
Spiritnya
bahwa keberhasilan adalah buah ketekunan dan kerja keras; bukan sebuah hal
datang dengan tiba-tiba dan bisa diperoleh secara instan. Bahkan pada
orang-orang yang berbakat sekalipun, keahliannya baru akan berkilau setelah
diasah dengan proses yang tak sebentar itu.
Sepuluh ribu jam itu, kalau dikonversi pada kegiatan 5
jam/per hari, maka dia membutuhkan 2 ribu hari. Kalau dijadikan tahun (
seminggu 5 hari, 1 tahun=260 hari), hasilnya adalah 7,7 tahun.
Medan, 23 Mei 2021.
Komentar
Posting Komentar